Minggu, 11 Oktober 2020

Fondasi LITERASI


GURU MENULIS 

Fondasi Literasi untuk Menyongsong Abad XXI

Dari sisi istilah , kata “literasi” berasal dari bahasa latin litteratus (littera). Sastra dengan kata latter dalam bahasa Inggris yang merujuk pada makna “kemampuan” menguasai pengetahuan bidang tertentu. Untuk merujuk pada orang yang mempunyai kemampuan tersebut, digunakan istilah literet (dari kata literate) yang dapat dimaknai “berpendidikan, berpendidikan baik, membaca baik, sarjana ,terpelajar, bersekolah, berpengatahuan, intelektual intelijen, terpercaya, terdidik, berbudaya, kaya informasi, canggih.” 

Di Indonesia, pada awalnya literasi dimaknai “melek” atau “keterpahaman”. Pada langkah awal tersebut, “melek baca dan tulis” ditekankan, karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal. Pemahaman literasi pada akhirnya tak hanya merambah pada masalah baca tulis, tetapi sampai pada tahap multi literasi. 

Dalam UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Pembukaan, literasi dimaknai sebagai “kemampuan memaknai informasi secara kritis. Sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.” Menurut World Economic Forum (2016), peserta didik memerlukan 16 keterampilan agar mampu bertahan di abad XXI. Yakni fondasi literasi atau literasi dasar (bagaimana peserta didik menerapkan keterampilan berliterasi untuk kehidupan sehari-hari), kompetisi (bagaiamana peserta didik menyikapi tantangan kompleks) dan karakter (bagaiamana peserta didik menyikapi perubahan lingkungan mereka). 

Literasi dasar yang terdiri atas baca tulis, numerisasi, sains, digital, finansial, budaya, dan kewargaan merupakan bagian dari kecakapan abad XXI. Bersama dengan kompetisi dan karakter, ketiga hal ini akan bermuara pada pembelajaran sepanjang hayat. Untuk meningkatkan kemampuan membaca peserta didik, gerakan literasi sekolah (GLS) digulirkan sejak Maret 2016. Tetapi, hingga sekarang belum banyak pengaruhnya terhadap hasil belajar, karena barupa data hapsosialisasi dan koordinasi. 

Program GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti. Sebagaimana tertuang dalam peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23 Tahun 2015 tentang Pertumbuhan Budi Pekerti. Salah satu kegiatan di dalam gerakan itu, kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca, agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik. 

Selain membaca 15 menit yang melibatkan buku-buku non teks pelajaran, lingkungan akademis yang literat juga didukung penggunaan strategi literasi dalam pembelajaran. Pembelajaran menggunakan strategi literasi dalam pembelajaran dengan memadukan keterampilan abad XXI dan pembangunan karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Diharapkan menjadi bekal kecakapan hidup sepanjang hayat. Materi atau buku yang digunakan bersumber dari buku pelajaran yang diperkaya dengan buku-buku non teks pelajaran (pusat kurikulum dan pembukuan, badan penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud, 2018). 

Strategi literasi seharusnya tampak dalam langkah-langkah pembelajaran (RPP) yang disusun para guru. Aspek-aspek itu, karakteristik penting dalam pengembangan budaya literasi di sekolah. Dalam pelaksanaannya, sekolah dapat mengdaptasinya sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah. Guru dan pimpinan sekolah perlu bekerja semua untuk mengimplementasikan startegi tersebut. 

Mengacu pada metode pembelajaran Kurikulum 2013 yang menempatkan peserta didik sebagai subjek, pmbelajaran, dan guru sebagai fasilitator. Kegiatan literasi tak lagi berfokus pada peserta didik semata. Guru selain sebagai fasilitator juga menjadi subjek pembelajaran. Akses yang luas pada sumber informasi, baik didunia nyata maupun dunia maya dapat menjadikan peserta didik lebih tahu dari guru. Untuk itu, kegiatan peserta didik dalam berliterasi semestinya tidak lepas dari kontribusi guru. Guru sebaiknya berupaya menjadi fasilitator yang berkualitas. Guru sebagai pemangku kebijakan sekolah merupakan figure teladan literasi di sekolah.

Baca Juga : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bahasa Indonesia

KD 3.2 dan 4.2 Teks Eksplansi Teks eksplansi disusun dari kalimat-kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat yang sesuai kaidah tata ba...